To my sworn friend, I'm proud of you.

I exist because I have you, I survived because you were there in my path...

Akha / May 28, 2023

6 min read • 1072 word(s)


Mek and his "girl-friend".

Mek and his "girl-friend".

  Meet my friend, Michael Marune Putra Sianturi or simply Mekmek. A polyglot batak-born man who I met 8 years ago, and became one of the first friends I had in high school. We were friend since day one, and the rest are history...

The history itself.

  Long story short, pertengahan tahun 2015 adalah waktu pertama aku dan kawanku ini bertemu. Seperti kebanyakan anak saat memasuki jenjang SMA, pastinya merasakan yang namanya MOS (Masa Orientasi Sekolah). Hari pertama MOS sempat aku bingung kemana harus pergi karena ada upacara penyambutan siswa baru yang mana siswa dikelompokkan per kelasnya masing-masing. Mek lah orang pertama yang menghampiriku saat aku sibuk bertanya ke orang-orang dimana kelas X-4 berada. "Kamu kelas X-4 juga kan? sini bareng aku", begitu jawabnya dulu. Logat yang tegas khas orang batak menjadi impresi pertamaku dengan dia.

  Sesampainya di kelompok kelas X-4, aku menyadari jika banyak dari temanku ini berasal dari SMP yang sama karena sudah saling terbiasa mengobrol satu sama lainnya. Dan karena itu juga, aku mencoba untuk tidak terlalu mencolok dan cenderung pendiam (rodo wibu nolep ncen, tapi yowes lah). Mek juga yang pertama mencoba untuk mengajak ngobrol — menanyakan asal SMP ku, rumahku dimana, dan pertanyaan basa-basi lainnya — tetapi karena itu lah, akhirnya teman kelas lain juga mencoba untuk berbicara denganku.

Muka dia yang bagiku mirip Judika.

Muka dia yang bagiku mirip Judika.

  We talked so much whenever we were together. We had a lot of common interests too, and because of that, we were close to each other. Banyak sekali yang bisa kami bahas saat bersama, mulai dari membahas komik / anime, membahas agama dan isu sosial, membahas politik, hingga membahas wanita mana yang menurut kami paling cantik. We still talk about high school life, reliving every moment that happen at the time, 'cause we both agree that it is indeed the best part of our life.

  BUT, as any other person in this world, our life wasn't as smooth as baby's ass. Despite our best efforts, we still cannot pass college entrance exam (SBMPTN) and ended up taking a gap year. We were stressed because our expectation were high, and desperate enough because we couldn't go to college together with our friends. But yeah, shit happen everytime. We could only endure it, and trying our best next time. At last, kami belajar bersama di tahun itu, dan akhirnya membuahkan hasil, kami sama-sama masuk kuliah di tahun berikutnya...

Present time.

  Fast forward to our last year of college life. Kami masih beberapa kali bertemu terutama setelah pandemi berakhir, dan adanya KRL Solo-Jogja yang sangat memudahkanku main ke UGM. Kebanyakan dari pertemuan kami membahas teman-teman SMA yang sudah lama tidak ada kabar, terutama salah satu teman terdekat kami yang menjadi santri pondok Ahmadiyah di Bogor sana. Kami juga saling update terkait kehidupan masing-masing, termasuk "pertemanannya" dengan seorang wanita keturunan Tionghoa bernama Yono (bukan nama samaran).

  Btw, let's talk about Mek and Yono — 'cause I know it's more interesting than my story tbh. Mereka bertemu pertama kali saat ospek maba, karena satu angkatan satu fakultas menyebabkan mereka akan banyak berinteraksi tentunya. Yono kebetulan adalah seorang wanita dengan selera yang cukup tinggi, manusia seperti Mek yang belum bernama belum berharta pastinya tidak akan dilirik oleh wanita high-class seperti dia, bahkan aku yakin dulu Yono tidak sudi Mek terlihat di pelupuk matanya. Namun waktu berkata lain, sekarang mereka berdua sangatlah dekat, kurang hatinya saja yang belum bersatu.

  Aku ingat ketika Mek cerita kepadaku, ada wanita yang kehadirannya saja sudah bahagia harinya, yang senyumnya saja dia sudah bermimpi hidup berdua dengannya. Beruntungnya wanita itu, 4 tahun berlalu, hatinya belum berubah, masih menunggu dia berlabuh di dekapannya. Tapi aku juga ingat ketika Mek bercerita padaku, bahwa hati tak bisa dipaksakan, biarlah pungguk merindukan bulan, biarlah wanitanya berpetualang, dia hanya perlu menunggu dan bersabar...

Look at those strong but fragile back.

Look at those strong but fragile back.

  Mendengarkan ceritanya mengingatkanku jika sudah pasti cinta tidak akan ada namanya memaksa dan terpaksa, seperti ketulusan Tuhan dalam mengasihi hambanya, murni cinta bukan ada maunya. 4 tahun aku dengarkan cerita cinta dia, wanitanya masih sama, Yono seorang saja. Kadang aku sendiri bosan mendengarkan, karena akhirnya pasti sama, Mek mengusahakan yang terbaik untuk wanitanya, dan wanitanya yang belum bisa menerima hati serta maksud baiknya. "Tidak apa-apa", katanya.

  Puncaknya adalah ketika si Yono ini berada di titik terendahnya, gagal dalam percintaan, buntu dalam per-akademik-an, hingga masuk RS karena sakit saking stresnya. Mek lah yang pertama kali reach out dia, menanyakan apa yang Yono perlukan. Mek juga lah yang berusaha untuk merangkul segala pihak, mulai dari mahasiswa, orang tua, dosen, hingga jajaran petinggi akademik untuk mulai terbuka terkait kesehatan mental di lingkungan kampus terutama di lingkungan Fakultas Biologi UGM. Dia lah pelopornya, hanya dia yang mau melakukannya tanpa tedeng aling-aling, dia lakukan tulus demi kebahagiaan wanitanya.

  Bagiku sendiri, Mek adalah contoh pejantan tangguh. Tidak mundur saat wanitanya berada dalam pelukan seseorang, maju pertama saat wanitanya tersungkur, menjadi nasihat paling asih saat wanitanya kehilangan arah. Itu semua ia lakukan tanpa mengharap apapun, biar wanitanya sendiri yang akhirnya tersadar, bahwa Mek lah yang selama ini ia butuhkan...

So long, partner...

  Tepat tanggal 26 Mei 2023, resmi dia menjadi Sarjana Sains (S.Si.). Segala jerih payahnya terbayarkan saat itu, puluhan orang yang dia bantu menyambutnya dengan suka ria, memberikan segala bentuk selamat kepadanya. Aku pun ikut bahagia, karena aku tau dia selalu pantas mendapatkan itu lebih dari siapapun.

Namaku terabadikan di skripsinya...

Namaku terabadikan di skripsinya...

  Namun, sedikit banyak aku juga takut kehilangan temanku satu ini, ketakutan yang sama seperti ketika aku kehilangan temanku yang menjadi santri itu. Aku takut kalau hanya aku saja yang mengingat pertemanan ini, aku takut hanya diriku saja yang menganggap semuanya berharga, separation anxiety istilah ilmiahnya. Walau begitu, aku percaya bahwa Mek akan menjadi orang besar kedepannya. Dengan demikian, aku akan ikhlas dan berdoa yang terbaik untuk dia.

  Selamat sidang Mek... Jaga dirimu, tinggal selangkah lagi kau bisa mengangkat derajat orang tuamu, tinggal selangkah lagi kau bisa mendapatkan hati wanitamu, kaupun sudah dekat dengan orangtuanya kan? Rawat dirimu, wanita suka pria yang bisa menjaga dirinya, bukan cuma yang bisa menjaga hati dan nafsunya. Aku harap suatu saat nanti, kita bisa bertemu, bercerita kembali bagaimana kita memulai semuanya dari dasar, menjadi perintis bagi keluarga kita. Aku bangga bisa mengenalmu temanku...

I would rather walk with a friend in the dark, than alone in the light.

— Helen Keller